Intoleransi? Akankah Menjadi Wajah Baru Indonesia?
Toleransi dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat atau sikap toleran, mendiamkan membiarkan (KBBI, 1989:955). Toleransi menurut istilah berarti menghargai, membolehkan, membiarkan pendirian, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya yang lain atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri (Poerwadarminta, 1976:829). Pelaksanaan sikap toleransi ini harus didasari dengan sikap kelapangan dada terhadap orang lain dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang dipegang sendiri, yakni tanpa mengorbankan prinsip-prinsip tersebut (Daud Ali, 1989:83)
Toleransi adalah saling menghargai, melalui pengertian dengan tujuan kedamaian. Toleransi adalah metode menuju kedamaian. Toleransi disebut sebagai faktor esensi untuk perdamaian (Tilman, 2004:95)
Namun nyatanya apa? Berdasarkan laporan dari The U.S. Commision on International Religious Freedom (USCIRF), Indonesia termasuk golongan negara tier 2 dimana terjadi peningkatan penganiayaan dan kejahatan atas kebebasan beragama, serta ditolerir oleh pemerintah. Untuk menempatkan suatu negara pada posisi ini, USCIRF harus menemukan bahwa negara ini ada pada ambang batas CPC (countries of particular concern), dimana mengandung salah satu elemen: sistimatis, berkelanjutan dan mengerikan.
Sebagai negara yang memiliki keberagaman suku, etnis, dan agama, toleransi menjadi salah satu isu utama yang sedianya diperhatikan oleh masyarakat dan pemerintah. Apalagi banyak pihak sudah menyoroti munculnya kelompok-kelompok intoleran berbasis etnis atau agama yang berani bertindak diskriminatif dan bahkan melakukan kekerasan. Pemerintah Indonesia, polisi, pemerintah daerah, dan kehakiman, seringkali mentolerir aktifitas ekstrimis, gagal menegakkan hukum negara yang melindungi minoritas, serta menjatuhkan hukuman ringan bagi pelaku kekerasa agama. Lalu, apakah sikap tak acuh pada toleransi akan berpengaruh pada masa depan? Mari kita tinjau dari kacamata VUCA.
Intoleran dalam bermasyarakat bersifat Volatile, yakni kejadian intoleransi ini terjadi secara tiba-tiba dan tidak dapat diprediksi. Kita tidak tahu kapankah masalah-masalah yang menyangkut sikap intoleran kapan datang, dimana datangnya, dan siapa yang mendatangkannya? Intoleransi sangat mudah tersulut hanya karena masalah sepele, bukan karena hal yang besar tapi dapat terjadi karena hal kecil seperti misinformation dan kurang bijaknya orang dalam menggunakan internet, terutama sosial media. Jika hal ini tidak segera menjadi concern rakyat Indonesia, tentu saja akan sangat berpengaruh pada masa depan Indonesia nantinya.
Intoleran juga bersifat Uncertain karena belum ada penyebab pastinya dan belum ada kejelasan informasi terkait intoleransi sendiri. Sikap intoleransi ini dapat melibatkan baik individu atau kelompok, dimana terdapat banyak sekali idealisme dan sudut pandang yang berbeda dalam menyikapi sebuah isu intoleransi.
Terakhir, intoleransi juga bersifat Complex karena melibatkan banyak pihak, baik pelaku maupun korban. Di beberapa kasus juga intoleransi bisa menyerang suatu kelompok atau suku. Ditambah lagi dampaknya yang tidak dapat bisa kontrol, berbagai aspek kehidupan akan terkena dampaknya, seperti sosial, politk, dan lain-lain.
Keberagaman Indonesia bukan hanya semata-mata sebuah frasa, kalimat Bhinneka Tunggal Ika bukanlah hanya sekadar semboyan. Semua memiliki makna yang berarti bagi bangsa ini. Memang bukanlah sebuah hal yang mudah untuk menyatukan apalagi mempertahankan pluralitas budaya yang ada di tanah air ini. Namun, itu bukanlah sebuah hal yang mustahil untuk diraih. Bayangkan saja, Indonesia suatu negara yang memiliki keragaman budaya mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Akankah masa depan kita menjadi seperti itu? Atau malah sebaliknya? Indonesia adalah bangsa yang tidak tau apa itu sikap menghargai, tidak tau apa itu privasi, tidak tau apa itu toleransi. Semua itu dapat dihindari dengan memulai hidup saling menghargai dan mulai mengikis sifat intoleran. Lantas bagaimana caranya untuk menghindarkan diri dari sikap intoleran?
Ada beberapa tindakan yang dapat kita praktikan dalam kehidupan sehari-hari supaya perlahan dapat mengikis sikap intoleran :
1. Pahami dan biasakan diri dengan perbedaan
Toleransi muncul ketika kita menghadapi suatu perbedaan, entah itu beda keyakinan atau beda kondisi fisik. Perbedaan tercipta bukan untuk mengotak-ngotakkan kita kok. Justru perbedaan tercipta agar kita menyadari bahwa di dunia ini tidak semuanya sama. Kita harus memahami perbedaan dan tidak mungkin setiap orang bisa menjadi seperti apa yang kita inginkan. Demi mencapai kesetaraan sosial, kita harus menjembatani perbedaan ini dengan sikap toleransi sosial.
2. Jalinlah hubungan pertemanan/persahabatan dengan orang yang berbeda
Semakin sering kita berjumpa dengan “perbedaan” perlahan-lahan sikap toleransi akan muncul. Memang bukanlah suatu hal yang pasti, tetapi semakin kuat rasa solidaritas yang terbentuk maka semakin kecil kemungkinan rasa intoleran akan timbul.
3. Meminimalisir budaya Morph Mentality
Morph Mentality dapat diartikan sebagai budaya ikut-ikutan. Tak jarang seseorang atau sekumpulan orang ikut mendiskriminasikan suatu kaum karena hanya ingin ikut-ikutan. Mereka pikir ini adalah sebuah hal yang keren, berusaha kritis tetapi hanya ikut-ikutan, berusaha mengkritik tapi tidak ada dasar karena semua kembali lagi ke rasa ingin menjadi orang lain yang dia anggap keren. Budaya ini sejatinya bukanlah budaya yang buruk, tetapi kerapkali digunakan untuk suatu hal yang tidak baik, salah satunya adalah ikut mendiskriminasi suatu kaum, padahal dia tidak tahu apa yang ada di baliknya.
“Namun, orang yang bijak akan menerima segala bentuk perbedaan pandangan sebagai kekayaan, karena keseragaman pikiran sungguh-sungguh memiskinkan kemanusiaan.” — Seno Gumira Ajidarma
Rayhan Naufal Luthfi, Keluarga OSKM 005