Mental Kepiting Mental Baru Indonesia?

Rayhan Naufal Luthfi
5 min readJul 25, 2021

Sebagai manusia pasti kalian pernah merasakan yang namanya bahagia. Memang definisi bahagia tiap manusia itu beda-beda, tetapi pasti ada suatu masa atau momen dimana kita sebagai manusia merasakan kebahagiaan, baik itu kebahagiaan kecil maupun besar. Seperti sesimple menang main bola saat kecil, mendapatkan hadiah ulang tahun, atau mungkin menjadi juara kelas dapat membuat seseorang bahagia. Akan tetapi, dimana kita merasakan sebuah kebahagiaan pasti ada saja orang yang tidak suka atau gamau aja kita bahagia. Bisa dibilang tidak jarang banyak orang-orang yang suka nyinyir atau bahkan melakukan tindakan fisik bagi peraih kebahagiaan itu dan hal ini kerap terjadi di lingkungan masyarakat, bahkan di kehidupan anak-anak Indonesia.

Crab Mentality ( Sumber : https://www.kompasiana.com)

Istilah Crab Mentallity memang mengambil perbuatan nyata dari kepiting. Hewan yang terkenal dengan capitnya ini, selalu menarik kawannya turun ketika berusaha keluar dari perangkap. Hal ini bisa saja bertujuan karena kepiting tersebut tidak ingin kawannya justru menjadi santapan pemburu, sehingga ia menarik kawannya yang berusaha keluar dari dalam ember. Namun, hal ini bisa dimaknai pula sebagai sikap egois atau perasaan iri terhadap usaha orang lain. Disebabkan hal tersebut, akhirnya ia mencoba menarik kawannya jatuh agar tidak meraih kesuksesan. Dapat disimpulkan bahwa crab mentality adalah analogi dari perilaku egois yang iri terhadap kesuksesan orang lain.

Kebiasaan ini tanpa kita sadari sudah mengakar di masyarakat Indonesia. Tidak hanya dilakukan oleh para pejabat-pejabat yang hendak berpolitik, tetapi juga kebiasaan ini dilakukan juga oleh anak-anak atau remaja dalam bersosialisasi. Sebagai contoh kecil, sering kali kita mendengar atau membaca di sosial media tentang kalimat “Yah elah gitu doang, gw dong” atau “Lah lu mending, gw”, hal itu merupakan cikal bakal dari sebuah mentalitas kepiting. Contoh lain yang dapat dilihat adalah dalam proses beradu argumen, terkadang orang menyerang dengan ad hominem yang tanpa kita sadari adalah cerminan dari crab mentallity.

Pertanyaan yang muncul adalah mengapa masyarakat Indonesia, bahkan anak-anak memiliki mental kepiting?

Terkadang masyarakat Indonesia merasa bahwa kesuksesan adalah segalanya, hal ini sangat dirasakan oleh anak-anak, terutama pelajar. Kita sebagai masyarakat Indonesia bisa dibilang didoktrin bahwa jika ada yang lebih pintar dari kalian atau lebih hebat dari kalian, tandanya ya kalian gagal. Akan tetapi muncul pertanyaan lain, Mengapa bisa masyarakat Indonesia merasa bahwa kesuksesan adalah segalanya?

Hal ini bisa dibilang sudah menjadi kebiasaan dan ya mengakar di diri masyarakat Indonesia sendiri. Hal ini bisa dibilang dimulai dari kehidupan sekolah dimana ada sistem ranking. Loh bukannya bagus ranking? Kan gara-gara ranking anak-anak dapat terpacu semangatnya?

Hal itu tidak salah, tetapi bisa dibilang tidak 100% benar. Mengapa demikian? Sistem ranking sendiri secara tidak langsung mengotakkan anak-anak menjadi “pintar” dan “bodoh”. Sebenarnya sistem ini berdampak positif bagi pembelajaran, tetapi dampak negatif yang dirasakan jauh lebih besar. Anak-anak dapat merasa minder atau menjadi tidak percaya pada kemampuannya. Pada dasarnya semua anak memang tidak bisa disamaratakan, namun sistem pendidikan kita lah yang memaksakan hal tersebut. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa sistem pendidikan Indonesia melakukan sistem ranking?

Pada awalnya memang tujuan ranking untuk memotivasi anak-anak supaya mau untuk berusaha lebih. Namun, kenyataannya adalah bertolak belakang 180 derajat. Mental yang dipupuk sejak SD, SMP, hingga SMA ini akan berdampak lebih jauh apabila terus dibiarkan. Lalu bagaimana? Sistem ranking harus dihapus? Bisa dibilang bukan dihapus tetapi dimodifikasi sedemikian rupa sehingga tidak terlalu “memojokkan” anak-anak yang berada di ranking bawah. Dari kasus ini dapat muncul pertanyaan lagi, mengapa sistem ranking dapat berpengaruh hingga ke kehidupan sosial?

Justru di sini adalah akar permasalahannya. Mungkin tidak hanya sistem ranking, tetapi masih banyak hal-hal yang dapat memicu mengakarnya rasa ini. Namun, dari kebiasaan “membanding-bandingkan” yang dilakukan oleh sistem ini atauapun mungkin dari orang tua si anak dapat terukir menjadi hal yang sangat tidak anak sukai. Bahkan, mereka dapat merasa bahwa hal ini akan dilakukan juga supaya mereka tidak merasa hanya mereka sendiri yang merasakan hal ini. Yaps di sini awal mulanya proses mengakar mental ini bisa sampai ke kehidupan sosial.

Tidak jarang kita lihat anak-anak di pinggir jalan atau di lingkungan rumah saat bermain petak umpet, atau saat bermain bola, atau bermain hal lainnya mereka merasa tidak mau kalah. Hal ini bisa dibilang merupakan dampak dari proses “ranking” yang memang memaksa anak-anak agar tidak kalah dari yang lain. Lebih parahnya lagi, hal ini merupakan cikal bakal dari crab mentality.

Mental buruk ini merupakan permasalahan struktural yang cukup kompleks. Masyarakat Indonesia, terutama anak-anak tidak sadar bahwa kebiasaan ini merupakan hal yang buruk. Bangsa Indonesia yang sedang berusaha untuk maju tentu perlu calon penerus bangsa yang dapat bekerja sama, perlu calon penerus bangsa yang tidak saling menjatuhkan, perlu calon penerus bangsa yang jujur. Namun, apa jadinya jika para calon penerus bangsa saling menjatuhkan? Apa yang akan mereka lakukan demi menggapai kesuksesan? Mau dibawa kemana bangsa Indonesia nantinya? Oleh karena itu, crab mentallity ini sangat penting dan merupakan salah satu dari tantangan masa depan bangsa Indonesia.

Lalu kita sebagai mahasiswa bisa apa? Apakah crab mentallity ini bisa diselesaikan? Mental seperti ini sudah mengakar dan bisa dibilang sebagai ciri khas bangsa Indonesia. Sebagai mahasiswa yang terkadang tanpa sadar melakukan hal ini, kita dapat memulai dengan memperbaiki diri kita sendiri. Buatlah atmosfer yang nyaman untuk bersosialisasi dalam sebuah kelompok pertemanan. Kita sebagai insan akademis dapat perlahan mengingatkan teman-teman kita yang tanpa sadar melakukan hal ini. Kita juga dapat mengkritik para pejabat pemerintahan yang terlihat melakukan hal ini, misalkan dalam berorasi, debat, ataupun dalam rapat pemerintahan.

Lalu upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini dari akarnya, yaitu bangku sekolah? Seperti yang sudah dbilang bahwa masalah ini adalah masalah kompleks. Untuk perlahan memperbaiki mental ini diperlukan kerjasama dari segi masyarakat Indonesia sendiri hingga pemerintah dalam perumusan kurikulum yang lebih sistematis dan tidak mengotak-ngotakkan anak-anak dalam belajar. Proses “rehabilitasi” ini bisa dibilang cukup lama, tetapi apabila tidak dilakukan ya mau sampai kapan kita saling menjatuhkan?

Kembali lagi, untuk perlahan menuntaskan hal ini dan menyelesaikan masalah ini dari akarnya, kita sebagai mahasiswa yang merupakan bagian dari masyarakat juga harus memiliki niat untuk berubah. Apabila kita tidak berubah, kalau tidak dimulai dari kita, lalu harus siapa yang memulai? Dengan perlahan melunturnya crab mentallity ini, para calon penerus bangsa dapat bekerja sama menggapai Indonesia yang lebih baik

--

--